LEARN / ARTICLE
5 mitos tentang kualitas udara luar ruangan
1. Ada banyak pohon dan hanya sedikit lalu lintas di dekat rumah saya, jadi saya aman.
Adanya pohon di sekitar tempat tinggal dan tempat kerja kita tentu membuat kita merasa lebih senang dan lebih sehat. Pohon memang penting sekali bagi lingkungan hidup, apalagi terkait perubahan iklim, tetapi apakah adanya pohon mengurangi polusi udara?
Kaitan antara pohon dan polusi udara masih belum jelas. Pohon memang menyerap banyak karbon dioksida (CO2) serta sebagian polutan lainnya seperti PM2.5 dan nitrogen oksida (NOx). Namun, banyak dari polutan ini tetap berada di atmosfer.
Pohon-pohon juga dapat menghentikan polutan agar polutannya tidak dapat naik ke langit. Jika ada semacam 'atap' pohon di mana cabang pohon bertemu, seperti di sebuah jalan raya yang indah, kualitas udara bisa jadi lebih buruk karena polutan tidak bisa naik ke atas.
Sensor dimiliki nafas menunjukkan bahwa bahkan di wilayah Jabodetabek yang banyak pepohonan, seperti Alam Sutera, kualitas udaranya tetap buruk. Pada Juni 2020, tidak ada satu hari pun dengan kualitas udara yang baik di Alam Sutera. Bahkan hari dengan AQI (107) terbaik dinilai tidak sehat untuk kelompok sensitif.
Pohon memang penting dan harus dilindungi, tapi keberadaannya bukan berarti kita aman dari polusi udara.
Begitu pula halnya kalau kita tinggal cukup jauh dari jalan raya. Polusi udara bisa menempuh jarak sangat jauh, bahkan sejauh 100 km.
2. Polusi udara hanya berdampak pada orang yang sudah rentan terhadapnya.
Ada beberapa kelompok masyarakat yang sensitif atau rentan terhadap polusi udara. Kelompok tersebut termasuk anak-anak, orang lanjut usia, orang dengan penyakit jantung atau paru-paru, ibu hamil, orang yang bekerja di luar ruangan, dan perokok. Orang-orang ini lebih mungkin mengalami gejala seperti batuk dan kesulitan bernapas akibat polusi udara.
Namun, siapa pun dapat terkena dampak polusi udara, terutama pada saat kualitas udara sedang buruk. Bedanya adalah orang yang rentan terhadap polusi udara akan lebih terkena dampak daripada orang lain.
3. Setidaknya kualitas udara Jakarta lebih baik daripada Beijing.
Dulu, kualitas udara Jakarta memang lebih baik daripada kota Beijing yang terkenal sangat tercemar. Sayangnya, hal tersebut sudah tidak benar – pada tahun 2019, Laporan Kualitas Udara Dunia oleh IQAir AirVisual mengumumkan bahwa kualitas udara di Jakarta sudah 20% lebih buruk daripada udara Beijing. Jakarta berada di peringkat 126 kota paling tercemar di dunia, sedangkan Beijing di peringkat 201. Lebih parah lagi adalah Bekasi, yang masuk di urutan 45.
Walaupun banyak kota di China masih mengalami polusi udara, udara di sana perlahan-lahan semakin bersih. Kebijakan pemerintah dan industri sudah menjadi lebih ketat di China, dan perubahan ini mengakibatkan peningkatan kualitas udara. Di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya, dan polusi udara masih meningkat. Faktanya, penelitian dari Universitas Chicago menunjukkan bahwa kualitas udara Jakarta sudah saking buruk sehingga memotong 4,8 tahun dari umur rata-rata penduduk.
4. Saya sehat sehingga polusi udara tidak mempengaruhi saya.
Banyak orang percaya bahwa jika kita sehat, kualitas udara yang buruk tidak akan mempengaruhi kita. Sayangnya, ini hanya mitos. Kita semua perlu menghirup udara untuk hidup, jadi setiap orang terkena polusi udara, terutama jika kita terpapar dalam jangka waktu yang lama.
Menjalani gaya hidup sehat – seperti makan sehat, berolahraga secara rutin, dan tidak merokok – tentu akan meningkatkan kondisi kesehatan kita. Namun, gaya hidup apapun tidak akan melindungi kita dari dampak polusi udara.
5. Saya tidak dapat melihat polusi udara, jadi tidak mungkin seburuk itu.
Salah satu mitos lainnya adalah jika udara terlihat bersih, maka udaranya sehat. Ini tidak benar.
Kita cenderung mengasosiasikan polusi udara dengan pencemaran yang terlihat, seperti kabut asap dan asap hitam. Namun ada banyak polutan yang tidak terlihat atau ukurannya terlalu kecil untuk dilihat. Partikel bahan partikulat (particulate matter atau PM) biasanya berwarna coklat atau hitam, tetapi kita tidak dapat melihatnya karena ukurannya sangat kecil. Misalnya, partikel PM2.5 berukuran 2,5 mikron saja (satu mikron adalah sepersejuta meter), sehingga tidak mungkin dilihat dengan mata telanjang. Kita hanya bisa melihatnya dengan mudah ketika partikelnya berkumpul dan membentuk kabut asap. Polutan lain seperti karbon monoksida merupakan gas bening, jadi kita tidak bisa melihatnya sama sekali.
Kesimpulannya, meskipun udaranya terlihat bersih, kualitas udara masih bisa jadi buruk. Jadi, penting kita selalu mengecek Indeks Kualitas Udara (Air Quality Index atau AQI).
Lantas, bagaimana dengan kualitas udara di dalam ruangan? Cari tahu mitosnya di sini.
Referensi:
Centre for Research on Energy and Clean Air. 2020. https://energyandcleanair.org/wp/wp-content/uploads/2020/08/Jakarta-Transboundary-Pollution_FINALEnglish.pdf