LEARN / BLOG

Bagaimana polusi udara mempengaruhi aktivitas menjemur bayi?


WRITTEN BY

Anggid Primastiti

PUBLISHED

11/07/2022

LANGUAGE

EN / ID

English / Indonesia


Kita semua membutuhkan paparan sinar matahari. Seperti yang mungkin sudah Anda ketahui, paparan sinar matahari memiliki banyak manfaat kesehatan karena membantu tubuh memproduksi vitamin D. Dengan demikian, paparan sinar matahari dapat dilakukan di segala usia.

Jika Anda adalah orang tua, sebagian dari Anda mungkin sudah mengetahui bahwa bayi juga butuh paparan sinar matahari untuk menunjang kesehatan tubuhnya. Tidak hanya untuk memberikan kehangatan, aktivitas menjemur bayi di pagi hari juga dapat meningkatkan vitamin D, menurunkan bilirubin, dan meningkatkan insulin, serotonin, dan melatonin. Vitamin D meningkatkan pembentukan tulang dan dapat membantu mencegah gangguan tulang dalam penyerapan kalsium.

Tentunya, menjemur bayi harus dilakukan dengan hati-hati. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan agar bayi dijemur dengan pakaian yang menunjukkan 40% kulitnya dan dalam waktu di bawah 30 menit. Sekitar 30 menit sebelum berjemur, oleskan tabir surya dengan minimal SPF 15 pada kulit bayi. Selain itu, IDAI juga menyarankan orang tua untuk menjemur bayi antara jam 7 dan 10 pagi atau jam 4 sore dan jam 6 sore untuk menghindari radiasi sinar UV/B yang tinggi. Jika anak Anda memiliki riwayat keluarga kanker kulit atau memiliki bintik-bintik, sebaiknya aktivitas berjemur dilakukan dengan lebih berhati-hati.

Namun, sadarkah Anda bahwa ada satu hal yang kurang dari segi keamanan? Yup,
kualitas udara di sekitar kita.

Bayi menghirup polusi udara lebih banyak daripada orang dewasa

PM2.5, partikulat dengan diameter 2,5 mikrometer, yang merupakan komponen pencemaran udara, dapat memberikan efek yang sangat berbahaya bagi manusia, terutama kelompok rentan seperti anak-anak dan bayi. 


UNICEF juga menyoroti bahwa anak-anak berusia 0-5 tahun paling berisiko terkena polusi udara. Bayi bernapas lebih sering dan menghirup konsentrasi polusi yang lebih tinggi per kg berat badan. Hal ini didasari oleh volume tidal, yaitu volume udara yang dihirup atau dihembuskan dalam sekali tarikan napas.

Volume tidal untuk bayi adalah 8,4 mL/kg, sedangkan volume tidal untuk orang dewasa yang sehat adalah 7 mL/g. PM2.5 yang ikut terhirup akan mempengaruhi bayi karena paru-parunya belum berkembang sempurna. Inilah alasan bahwa bayi sangat rentan terhadap polusi udara.

Dampak buruk PM2.5 yang terhirup bagi kesehatan bayi

Terdapat beberapa risiko penyakit serius bagi bayi kita akibat polusi udara. PM2.5 yang dihirup oleh bayi dapat meningkatkan risiko IQ rendah, mengganggu perkembangan otak, memicu asma dan kesehatan paru-paru yang buruk, dan meningkatkan potensi penyakit Attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD). Sebuah studi di Taiwan pada tahun 2022 menemukan bahwa paparan PM2.5 sebesar 16 μg/m3 untuk anak di bawah 3 tahun meningkatkan risiko ADHD. Risikonya pun akan terus meningkat secara signifikan pada paparan >50 μg/m3.

PM2.5 dapat membahayakan bayi, bahkan sejak dalam kandungan

Faktanya, paparan PM2.5 yang tinggi selama kehamilan juga menjadi risiko besar bagi bayi di dalam kandungan. Pada ibu hamil, paparan PM2.5 yang tinggi memperburuk asma. Asma dapat menyebabkan preeklamsia pada ibu hamil, suatu kondisi yang menyebabkan tekanan darah tinggi dan fungsi hati dan ginjal lebih buruk. Asma yang memburuk dapat menyebabkan bayi kekurangan oksigen, menyebabkan kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, dan menyebabkan pertumbuhan yang buruk.

Penelitian juga menemukan bahwa PM2.5 dapat menembus plasenta bayi dan meningkatkan kemungkinan bayi terkena asma di kemudian hari. Studi lainnya pun menemukan karbon hitam yang ada pada plasenta bayi baru lahir dan paparan PM2.5 prenatal memiliki kaitan dengan risiko kelahiran prematur yang lebih tinggi, berat badan lahir rendah, gangguan autisme, dan masalah neurologis. Tak hanya itu, sebuah studi tahun 2020 di Meksiko juga menemukan bahwa ibu di trimester pertama yang terpapar PM2.5 antara hampir 22 - 23
μg/m3 memiliki anak dengan risiko lebih tinggi untuk skor tes, skor fungsional, dan depresi yang lebih rendah ketika mereka mencapai 4 - 6 tahun.

Sebuah studi menarik lainnya menyebutkan bahwa polusi udara menyebabkan hampir tiga juta kelahiran prematur setiap tahun. Menurut FKUI, Indonesia menempati urutan ke-5 kasus kelahiran prematur di dunia. Sebuah studi dari AS menunjukkan bahwa ibu dengan paparan kadar PM2.5 di atas 15
μg/m3 selama kehamilan mereka memiliki risiko 19% lebih tinggi untuk melahirkan prematur. Di Indonesia, nilai baku mutu udara PM2.5 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 adalah 15 μg/m3. Namun, konsentrasi PM2.5 di udara kita sering kali melebihi 15 μg/m3 – dan kita akan lihat seberapa tinggi itu akan terus berlanjut.

Jakarta adalah salah satu ibukota dengan polusi udara terburuk di dunia 

Sebelumnya, data kualitas udara oleh IQ Air menempatkan Jakarta sebagai kota paling tercemar di dunia. Data tersebut menunjukkan bahwa AQI Jakarta adalah 193 pada Senin pagi, yang merupakan 27,4 kali lebih tinggi dari indeks kualitas udara yang disarankan oleh World Health Organization (WHO). Polusi udara di Bandung dan Surabaya pun juga tidak jauh berbeda. Berikut adalah level PM2.5 dari hari ke hari untuk semua wilayah sensor Nafas.


Untuk data yang terkini, berikut kami tampilkan level PM2.5 di semua wilayah sensor Nafas selama 30 hari terakhir (Juni 2022).


Kualitas udara paling buruk terjadi pada pagi hari

Partikulat ini memiliki konsentrasi yang tinggi pada tengah malam, dan tidak akan membaik sampai sekitar pukul 10 pagi. Untuk membantu menjaga bayi tetap aman dari paparan polusi, memantau data kualitas udara sangat berguna dalam memutuskan kapan bayi harus berjemur di luar atau di dalam ruangan. Berdasarkan data oleh Nafas, kualitas udara terburuk terjadi di pagi hari, dengan puncak pada jam 8 atau 9 pagi, tepat di tengah-tengah waktu bayi berjemur.





Anda mungkin akan berpikir - Mustahil. Hal tersebut tidak mungkin terjadi di tempat tinggalku. 

Nafas telah mendata polusi udara di 150 lokasi dan hasilnya umumnya sama di setiap kota (kecuali Belitung). Bagi Anda yang baru saja melahirkan, berikut adalah rata-rata kadar PM2.5 menurut waktu untuk setiap wilayah dalam 1 bulan terakhir.


Jadi, apakah artinya kita harus selamanya berada di dalam ruangan bersama bayi kita? Tentu saja tidak. Faktanya, sensor udara Nafas juga berhasil mendeteksi udara dengan kualitas yang sehat untuk beraktivitas di luar ruangan. Nafas telah beberapa kali sepanjang tahun memperoleh data kualitas udara yang sehat di pagi hari. Alasan di balik kualitas udara yang sehat ini adalah kondisi cuaca dan atmosfer yang membuat kualitas udara baik di berbagai wilayah di Indonesia.


Melindungi buah hati dari polusi udara saat menjemur bayi

Sebagai orang tua, kita semua bertanggung jawab atas lingkungan yang aman bagi anak. Paparan polusi udara menjadi salah satu aspek penting yang perlu dihindari bagi kita dan anak kita. Jika Anda ingin menjemur bayi di luar, selain mengikuti rekomendasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada baiknya jika kita memeriksa kualitas udara di luar ruangan juga.

Anda dapat menggunakan
aplikasi Nafas untuk mengetahui kualitas udara. Aplikasi Nafas memiliki fitur Notifikasi yang akan membantumu mengetahui kualitas udara pada waktu sesuai kebutuhan Anda. Dengan fitur ini, kamu dapat mengatur waktu yang kamu inginkan untuk menjemur bayi dan Nafas akan memberimu peringatan kualitas udara pada waktu tersebut.



Jika polusi udara cukup tinggi, Anda masih bisa menjemur bayi di dalam ruangan dekat jendela dengan air purifier. Anda dapat menggunakan HEPA Purifier untuk menjaga kualitas udara di dalam ruangan tetap sehat. Dengan tips tersebut, Anda dapat tetap memaksimalkan manfaat dari menjemur bayi dan menjaga anak tetap aman dan sehat.


Referensi:

Chang, Y.-C., Chen, W.-T., Su, S.-H., Jung, C.-R., & Hwang, B.-F. (2022). PM2.5 exposure and incident attention-deficit/hyperactivity disorder during the prenatal and postnatal periods: A birth cohort study. Environmental Research, 214, 113769. https://doi.org/10.1016/j.envres.2022.113769

DeFranco, E., Moravec, W., Xu, F., Hall, E., Hossain, M., Haynes, E. N., Muglia, L., & Chen, A. (2016). Exposure to airborne particulate matter during pregnancy is associated with preterm birth: a population-based cohort study. Environmental Health, 15(1). https://doi.org/10.1186/s12940-016-0094-3

Doershuk, C., & Matthews, L. (n.d.). Airway Resistance and Lung Volume in the Newborn Infant. Retrieved July 10, 2022, from https://www.nature.com/articles/pr196915.pdf?origin=ppub

Impacts on Newborns | State of Global Air. (n.d.). Www.stateofglobalair.org. https://www.stateofglobalair.org/health/newborns

Malley, C. S., Kuylenstierna, J. C. I., Vallack, H. W., Henze, D. K., Blencowe, H., & Ashmore, M. R. (2017). Preterm birth associated with maternal fine particulate matter exposure: A global, regional and national assessment. Environment International, 101, 173–182. https://doi.org/10.1016/j.envint.2017.01.023