LEARN / BLOG

SENGAL: Bukti Nyata Ancaman Polusi Udara di Jakarta


WRITTEN BY

Kezia Grace

PUBLISHED

17/01/2023

LANGUAGE

EN / ID

English / Indonesia


SENGAL merupakan sebuah film dokumenter tentang polusi udara di Jakarta hasil garapan Vincent Ricardo dan persembahan Vinci Studios dan Bicara Udara. Film ini semakin menguak kondisi nyata dan dampak buruk polusi udara di Jakarta.

Sebuah permasalahan yang ada namun belum juga terselesaikan sejak zaman kolonialisasi. Pada akhirnya, kesehatan dan kehidupan kita menjadi taruhan atas buruknya kualitas udara yang kita hirup sehari-hari.

Perjalanan kekecewaan Puteri dan Vivi, korban buruknya polusi udara Jakarta.


Puteri Aisyaffa divonis dokter menderita bronkitis dan tukak perut. Banyak orang khawatir, sebab Puteri sedang mengandung saat vonis ini dijatuhkan. Namun yang lebih mengejutkan adalah konfirmasi dokter yang menyebutkan bahwa penyakitnya disebabkan oleh buruknya polusi udara di Jakarta. Puteri dan keluarganya pantas cemas, mengingat banyak riset menunjukkan bahwa polusi memiliki kaitan erat terhadap meningkatnya risiko kelahiran prematur, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), stunting, dan masih banyak lagi karena polutan dapat masuk melalui pernafasan dan berakhir di plasenta bayi.

Kasus lainnya, di rumah keluarga (alm) Vivi, ditemukan bahwa kualitas udara rata-rata di sana tergolong tidak sehat untuk kelompok rentan. Semasa hidupnya Vivi jarang memiliki masalah kesehatan. Baru sejak 4-5 tahun sebelum wafat, Vivi kerap terpapar polusi baik di luar maupun dalam ruangan dan didiagnosa Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). PPOK tidak dapat disembuhkan, terutama jika sudah telanjur berada di stadium akhir.


Baik Puteri maupun Vivi sama-sama menderita karena polusi udara, sayangnya hanya salah satu dari mereka yang berhasil bertahan melawan penyakitnya.

Sejarah polusi udara Jakarta berawal dari zaman Batavia

Molenvliet atau yang kita sekarang sebagai Hayam Wuruk merupakan area pertama yang dicatat dalam sejarah sebagai area sumber polusi udara di Jakarta, bahkan sebelum tahun 1800-an. Di sana terdapat pabrik tepung dan pabrik semen yang berkontribusi menghasikan polusi udara yang mematikan selama era penjajahan Belanda.

137 tahun kemudian, hingga hari ini, pabrik batu bara masih menjadi salah satu kontributor terbesar polusi udara di Jakarta. Hembusan angin menjadi faktor utama yang membawa polutan-polutan tersebut ke arah pemukiman di Jakarta.


Berdasarkan penelitian Vital Strategies dengan Institut Teknologi Bandung, kontribusi PM2.5 dari kendaraan bermotor berkisar antara 32 - 57%. Selain emisi kendaraan, masih banyak lagi sumber-sumber polusi udara, baik yang berasal dari manusia maupun diproduksi oleh alam.

✅ Kamu dapat mempelajari sumber-sumber polusi udara dengan membaca artikel berikut: Apa saja sumber polusi udara?

Keterlibatan Nafas dalam pemantauan kualitas udara

Nathan Reostandy, co-founder Nafas, menceritakan bagaimana nafas bermula. Yakni ketiak ia berkaca pada kondisi polusi udara di Cina pada tahun 2011. Saat itu udara negara tersebut benar-benar berselimut polusi tinggi. Namun ironisnya, kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang polusi udara masih sangat rendah. Baru setelah sebuah film dokumenter berjudul Under The Dome garapan salah seorang jurnalis lokal dirilis. Film tersebut menjelaskan betapa rendahnya komitmen pemerintah dalam mengatasi polusi udara. Akibatnya banyak korban berguguran, termasuk anaknya sendiri yang terlahir dengan kondisi kelainan paru-paru.

Film dokumenter tersebut menjangkau sekitar 700 juta penonton dalam beberapa minggu pertama. Sejak itu isu polusi udara mendapatkan perhatian tinggi dari pemerintah Cina dan mendorong lahirnya program-program yang ditujukan untuk melawan polusi udara. Hari ini, kota besar di Cina, seperti Beijing, telah mengalami kemajuan dalam melawan polusi udara hingga 40%.


Meskipun perubahan terkesan lambat, namun dampaknya sangatlah baik. Pemahaman orang-orang pun perlahan berubah. Dari yang awalnya melihat produk pendukung kesehatan (purifier, filtrasi udara, monitor kualitas udara, dan lainnya) sebatas ‘bagus untuk dibeli’, kini telah naik tingkat menjadi ‘harus dibeli’ karena alasan kesehatan.

Miskonsepsi polusi udara

Berdasarkan data dari Nafas (Oktober 2021-Oktober 2022), rata-rata konsentrasi PM2.5 per tahun yaitu 39 µ/m3, yang berarti kualitas udara di Jakarta tidaklah bagus untuk kelompok yang rentan. Namun jika dibandingkan dengan Jakarta, Tangerang Selatan memiliki rata-rata konsentrasi PM2.5 per tahun yang lebih buruk, yakni mencapai 46 µ/m3.


Penyebab utamanya sumber-sumber polusi lokal seperti aktivitas pabrik batu bara, pembakaran sampah, serta kurangnya transportasi publik di daerah tersebut. Ironisnya, banyak daerah di Tangerang Selatan yang terkenal sebagai daerah hijau karena memiliki banyak pohon.

Di sinilah miskonsepsi muncul: Bukankah pohon mengurangi polusi udara? Jawaban sederhana untuk pertanyaan ini adalah pohon dapat menyerap polusi gas namun tidak dengan partikel padat seperti PM2.5. Hal ini didukung oleh penelitian dari Environmental Protection Agency dari Amerika Serikat yang menyatakan bahwa pohon hanya dapat mengurangi 0.24% polusi PM2.5. Dengan kata lain, menanam pohon bukanlah solusi utama dalam mengurangi polusi.


Miskonsepsi terkait pohon yang dapat mengurangi debu bukanlah suatu hal yang baru, bahkan dari masa kolonial, pejabat Belanda saat itu juga beranggapan bahwa penghijauan dapat mengurangi polusi udara di Batavia.

Polusi udara pekerjaan rumah besar bagi warga dan pemerintah

Polusi udara merupakan masalah kompleks yang tidak bisa diselesaikan oleh solusi tunggal saja. Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh pemerintah kota adalah dengan menambah sensor kualitas udara di Jakarta. Berdasarkan standar WHO, setidaknya DKI Jakarta (Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan) membutuhkan hingga 100 sensor kualitas udara. Tanpa sensor ini, pembuat kebijakan tidak akan dapat membuat kebijakan untuk mengurangi tingkat polusi udara.

Sensor tersebut akan diolah menjadi Indeks Standar Pencemaran Udara atau yang sering disebut ISPU yang merupakan suatu laporan kualitas udara suatu kota untuk menginformasikan seberapa bersih dan tercemarnya udara dan juga dampak kesehatan yang terjadi akibat menghirup udara tersebut. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta juga menyetujui kenyataan bahwa kualitas udara di Jakarta berada di bawah standar WHO.


Dibutuhkan kerja sama dari seluruh pihak, mulai dari tingkat individu, warga, dan pemerintah, untuk dapat mengatasi masalah polusi udara. Ini pekerjaan tidak mudah, namun bukan hal yang mustahil. Banyak kota di dunia yang berhasil menurunkan tingkat polusi udara di daerah mereka. Peran dan desakan dari warga juga tak kalah penting! Pertengahan tahun ini warga Jakarta memenangkan gugatan polusi udara yang dapat membantu mereka untuk meningkatkan kualitas udara mereka di ibukota tercinta, yang dimana Presiden, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan dan Menteri Lingkungan Hidup harus melakukan langkah-langkah untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta.

Langkah terakhir yang kita bisa lakukan sebagai warga adalah memastikan bahwa kita pada Pemilu 2024 nanti kita hanya memilih perwakilan rakyat yang benar-benar mengerti, peduli, dan berkomitmen tinggi melakukan perbaikan kualitas udara di Indonesia.

📽️Penasaran dengan masalah polusi udara yang dikisahkan dalam fim Sengal? Tonton filmnya sekarang di sini.