LEARN / BLOG

#JegalMitos: Penghijauan Tidak Cukup untuk Mengatasi Polusi Udara


WRITTEN BY

Kezia Grace

PUBLISHED

13/12/2022

LANGUAGE

EN / ID

English / Indonesia


Pada 2019 silam NASA (National Aeronautics and Space Administration) menyatakan bahwa tanaman ataupun pohon di bumi telah bertambah sebesar 5% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Namun, secara bersamaan CO2 juga mengalami peningkatan sebesar 4%!

Kita harus mengingat bahwa tumbuhan bisa mengabsorbsi polusi dalam bentuk gas, tapi tidak bisa menyerap partikulat. Jadi apakah “penghijauan merupakan solusi dalam mengatasi polusi udara” hanya mitos belaka?

🔍 Mari kita sama-sama membuktikannya di seri konten #JegalMitos kali ini!

👍 Kenali polusi udara lebih dekat

Pahami dulu bahwa polusi udara ada dua jenis. Pertama yaitu gas, jenisnya pun beragam, seperti Karbon monoksida (CO), Karbon dioksida (CO2), Nitrogen oksida (NOx), Sulfur dioksida (SO2), ammonia (NH3), ozon permukaan (O3), hingga senyawa organik yang mudah menguap (VOC). Lalu polusi kedua adalah partikel. Polutan PM2.5 yang berukuran sangat kecil ini akan menjadi inti pembahasan kita selanjutnya.

Kenali sumber-sumber polusi udara yang ada di sekitar kita agar bisa memahami dengan jelas langkah konkret yang bisa kita lakukan dalam mengurangi produksi polusi.

🤔 Polutan PM2.5 musuh kita bersama

Ukuran PM2.5 sangatlah kecil, bahkan lebih kecil dari diameter sehelai rambut. Begitu kecil hingga bisa menyusup ke dalam pembuluh darah manusia dan menimbulkan berbagai masalah kesehatan serius. Dan kabar buruknya, partikel padat di udara tidak bisa diserap oleh daun atau tumbuhan, sebab tumbuhan tidak membutuhkan partikulat untuk melakukan fotosintesis.



Sehingga partikel yang ‘tertinggal’ di tanaman dapat kembali tersebar di udara jika tertiup angin atau didorong oleh faktor eksternal lainnya. Ini artinya, polutan PM2.5 sangat membahayakan kesehatan karena tidak bisa terserap oleh tumbuhan!

🍃 Peran tumbuhan dalam menyerap polusi udara

Lantas saat fotosintesis, apa yang diserap oleh daun? Saat berfosintesis, daun akan menangkap cahaya matahari untuk mengubah air dan CO2 menjadi oksigen (O2). Stomata pada daun berfungsi layaknya mulut yang bisa membuka dan menutup sebagai reaksi terhadap lingkungan sekitarnya. Stomata berfungsi seperti lintasan keluar masuknya CO2, O2, dan H2O selama fotosintesis.



Perlu diingat bahwa saat tingkat pencemaran udara sedang tinggi, jumlah polusi gas juga meningkat drastis. Daun-daun akan kewalahan menyerap gas tersebut! Banyak penelitian menjadikan tumbuhan sebagai bioindikator polusi udara. Artinya, terbukti ada dampak nyata dari polusi udara dan kandungan polutan tinggi terhadap melemahnya performa daun, dalam hal ini diakibatkan karena penurunan kadar klorofil.

Jadi apakah tumbuhan tidak punya peran sekali dalam mengurangi polusi udara? Tidak juga, karena tumbuhan tetap bisa menyerap polusi, namun dalam skala sangat kecil.

Hasil penelitian yang dilakukan di 10 kota di Amerika Serikat pada 2013 menyimpulkan bahwa pohon dapat mengurangi polusi PM2.5 dan meningkatkan kualitas udara hanya sampai 0.24%!


Artinya, jika kadar rata-rata PM2.5 di daerah rumahmu adalah 50 ug/m3, atau 10x di atas standar WHO, maka dengan penghijauan yang maksimal, kadar tersebut akan menurun menjadi 49.88 ug/m3, atau hanya berkurang 0.12 ug/m3 saja.

😣 Ironi “Kota Seribu Taman”

Sekarang mari jalan-jalan sebentar ke timur Pulau Jawa. Dari julukannya, kita dapat membayangkan bahwa kualitas udara di kota ini bagus dan sehat. Di tahun 2020, kota ini memiliki kurang lebih 570 taman yang ditanami berbagai jenis pohon dan tumbuhan. Kota ini juga berhasil menurunkan suhunya sebesar 2 derajat. Pada 2014, kota ini menyabet gelar Green City dalam ajang Indonesia Green Awards 2014. Dan tahun ini, pemerintah kota-nya cukup ambisius dengan program penanaman 1.000 bibit pohon setiap harinya. Sudah bisa menebak kota apa yang sedang kita bahas?

Ya, kamu benar: Surabaya!

Sederet ‘prestasi’ di atas mestinya cukup mengantarkan Surabaya sebagai kota yang bersih dari polusi, bukan? Namun kenyataan yang terjadi sebaliknya. Menurut data nafas selama 6 bulan terakhir dari bulan Juni sampai November 2022, Surabaya masuk dalam sepuluh besar kota paling berpolusi di Indonesia!



Surabaya menduduki posisi ke delapan, setelah DKI Jakarta.



Dari grafik di atas, kita juga dapat melihat bahwa Malang yang dimana “Ruang Terbuka Hijau”-nya belum mencapai target Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik yang idealnya sebesar 20 persen dari luas wilayah daerah perkotaan, yang dimana RTH Malang hanya 12%, yang dimana cukup jauh dibandingkan dengan RTH Surabaya yang mencapai 22%. Namun, kadar PM2.5 di Malang sangat rendah jika dibandingkan dengan Surabaya. Oleh karena itu, kita semakin bisa percaya kenyataan jika penghijauan tidak efektif untuk menurunkan polusi.

💡 Kesimpulannya, penghijauan saja tidak bisa diandalkan untuk mengatasi polusi udara.

Pemahaman bahwa tumbuhan dapat menjadi benteng atau pembatas antara sumber polutan dengan manusia sayangnya baru sebatas cita-cita mulia saja, sebab dibutuhkan usaha besar dan keterlibatan dari banyak pihak, dimulai dari penghematan energi, peralihan dari bahan bakar fosil menjadi energi yang terbarukan, dan masih banyak lagi sehingga penghijauan dapat menjadi lebih efektif.

Untuk hidup yang lebih sehat, ada baiknya agar kita meminimalisir paparan polusi udara saat beraktivitas. Untuk itu, yuk mulai rutin mengecek kualitas udara di aplikasi nafas!