LEARN / ARTICLE

Apakah PM2.5 berbahaya jika bagi ibu hamil?


WRITTEN BY

nafas Indonesia

PUBLISHED

04/09/2020

LANGUAGE

EN / ID

English / Indonesia


Polusi udara berisiko bagi ibu dan bayi

Penelitian telah menunjukkan bahwa paparan terhadap polusi udara meningkatkan risiko ibu hamil terhadap tekanan darah tinggi dan diabetes gestasional (diabetes yang muncul saat kehamilan). Sementara, janin dalam kandungan berisiko lebih tinggi untuk lahir dengan berat badan rendah dan kelahiran dini (prematur). Semua masalah kesehatan ini dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan bayi, apalagi jika bayi tersebut lahir terlalu dini.

Wanita hamil menghirup lebih banyak udara

Jadi, mengapa ibu hamil memiliki risiko lebih tinggi? Ibu hamil menghirup udara dengan lebih cepat daripada orang lain, dan jantungnya bekerja lebih berat untuk memastikan janinnya mendapatkan cukup banyak oksigen. Ini berarti ibu hamil menghirup lebih banyak udara. Makin banyak udara kita hirup, makin besar risiko kesehatannya.

Polusi udara menyebabkan masalah pada plasenta

Beberapa polutan seperti logam berat, bahan partikulat (particulate matter atau PM), dan bahkan pestisida dapat merusak suplai darah terhadap plasenta (ari-ari). Hal tersebut menyebabkan masalah terkait pertumbuhan dan fungsi plasenta sehingga akhirnya berdampak terhadap perkembangan janin. Polutan-polutan tersebut masuk ke aliran darah si janin, dan kemudian dapat menimbulkan disabilitas fisik, masalah neurologis (saraf), dan disabilitas intelektual.

PM2.5 menyebabkan kelahiran prematur

Jenis PM yang paling kecil, yaitu PM2.5, termasuk salah satu polutan paling berbahaya bagi ibu hamil. Penelitian ilmiah menunjukkan bahwa kelahiran dini sering disebabkan oleh PM2.5. Pada tahun 2010, data dari 183 negara menunjukkan bahwa setidaknya 18% kelahiran dini berkaitan dengan tingkat polusi PM2.5 yang tinggi.

Sebuah studi tahun 2019 dari Amerika Serikat juga menemukan bahwa lebih banyak ibu hamil melahirkan terlalu dini jika terpapar PM2.5 dari asap kebakaran hutan saat trimester kedua kehamilan. Bahkan, peningkatan kecil tingkat PM2.5 dapat meningkatkan risiko kelahiran dini secara drastis sebanyak 13%, dengan setiap peningkatan 1 mikrogram/m
3 di nilai PM2.5.

PM2.5 menyebabkan berat badan lahir rendah

PM2.5 juga menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR) pada bayi. BBLR merupakan indikator kunci kesehatan bayi saat lahir, serta sebagai determinan kesehatan masa depannya. Bayi BBLR memiliki kemungkinan lebih besar untuk menderita penyakit berat atau bahkan meninggal saat masih bayi. Bayi BBLR juga lebih berisiko mengalami masalah pertumbuhan dan penyakit seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular. Studi Kanada pada tahun 2019 yang disebutkan di atas menemukan risiko BBLR lebih tinggi jika ibunya terpapar PM2.5 dari asap kebakaran hutan saat trimester pertama. Studi lain pada tahun 2015 di Eropa menunjukkan paparan terhadap PM2.5 yang mengandung partikel terkait kendaraan bermotor memiliki hubungan erat dengan BBLR.

Sebisa mungkin, sebaiknya ibu hamil diam di rumah saja pada hari berpolusi tinggi. Rumah seharusnya ditutup dengan baik (tanpa celah di sekitar jendela dan pintu) serta menggunakan produk filtrasi udara untuk memperbaiki kualitas udara.

PM2.5 tidak hanya berbahaya bagi ibu hamil tetapi juga bagi anak-anak dan orang lansia. Ada juga dampak buruk terhadap kulit kita dan jika kita berolahraga di luar ruangan.


Referensi

Abdo, Mona, Isabella Ward, Katelyn O’Dell, Bonne Ford, Jeffrey R. Pierce, Emily V. Fischer, and James L. Crooks. 2019. ‘Impact of wildfire smoke on adverse pregnancy outcomes in Colorado, 2007-2015’, International Journal of Environmental Research and Public Health 16(19):3720. https://www.mdpi.com/1660-4601/16/19/3720

Malley et al. 2017. ‘Preterm birth associated with maternal fine particulate matter exposure: A global, regional and national assessment’, Environment International 101:173-182. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0160412016305992

Pedersen M et al. 2016. ‘Elemental constituents of particulate matter and newborn’s size in eight European cohorts’, Environmental Health Perspectives 124(1):141-150. https://ehp.niehs.nih.gov/doi/10.1289/ehp.1409546