LEARN / BLOG

WFH & WFO: Manakah yang meningkatkan polusi udara?


WRITTEN BY

Anggid Primastiti

PUBLISHED

19/09/2022

LANGUAGE

EN / ID

English / Indonesia


Banyak orang masih percaya bahwa aktivitas lalu lintas dan transportasi adalah satu-satunya sumber pencemaran udara di Jabodetabek. Selain itu, Pemprov DKI juga menyatakan bahwa transportasi berkontribusi 60% terhadap pencemaran udara. Meski beberapa kebijakan, seperti aturan ganjil genap, telah dilaksanakan guna mengurangi kemacetan, kualitas udara di Jakarta semakin memburuk tanpa tanda-tanda perbaikan. Tak hanya itu, pada Juni 2022, Jakarta pun dinobatkan sebagai ibu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.


Risiko kesehatan akibat PM2.5

Berdasarkan data nafas, kadar PM2.5 di Jakarta mencapai 75,45 µg/m³ pada 15 Juni 2022. Angka ini sangat tinggi hingga mencapai 15 kali di atas ambang batas kualitas udara tahunan WHO. Paparan PM2.5 dapat menyebabkan efek kesehatan jangka pendek seperti iritasi mata, hidung, tenggorokan, dan paru-paru, batuk, bersin-bersin, pilek, dan sesak napas. Dalam jangka panjang, paparan partikel-partikel ini dapat memengaruhi paru-paru dan jantung seseorang. Paparan jangka panjang terhadap PM2.5 juga dikaitkan dengan peningkatan risiko jangka panjang kematian kardiopulmoner sebesar 6-13% per 10 µg/m³ PM2.5.

Tak hanya itu, sebuah penelitian dari Korea menunjukkan peningkatan risiko penyakit jantung sebesar 33% ketika orang dewasa muda berusia 20-39 tahun berolahraga di atas kadar PM2.5 sebesar 26,46
µg/m³. Selain itu, sebuah penelitian dari AS menunjukkan bahwa ibu dengan paparan kadar PM2.5 di atas 15 µg/m³ selama kehamilan mereka memiliki risiko 19% lebih tinggi untuk melahirkan prematur.

Selanjutnya, karyawan di sektor non-esensial dan esensial saat ini diizinkan Work From Office (WFO) dengan kapasitas total di Jakarta. Akibatnya, aktivitas manusia dan volume lalu lintas meningkat, menyebabkan lebih banyak polusi udara di atmosfer.

Tapi, apakah ini justru memperburuk kualitas udara dibandingkan dengan Work From Home (WFH)? Saya kira tidak demikian. Inilah alasannya.


Mengingat kembali ke masa PPKM Darurat

Pada 3 Juli 2021, Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (atau PPKM) Darurat dilaksanakan untuk mengurangi interaksi sosial dan penyebaran virus corona. Kita semua tahu bahwa pandemi COVID-19 telah memaksa aktivitas manusia dan ekonomi untuk membekukan di seluruh dunia dan bekerja dari rumah (WFH). Namun, beberapa orang menyebut pandemi ini sebagai “berkah tersembunyi” — karena lockdown telah secara drastis mengurangi polusi udara.

“Transportasi berkurang, emisi kendaraan berkurang, polusi udara berkurang, ….dan akhirnya, kualitas udara membaik.”
Pemikiran seperti ini mungkin pernah terlintas di benakmu.

Namun, apakah itu benar-benar meningkatkan kualitas udara?

Sayangnya tidak.



Berdasarkan data PM2.5 yang diukur oleh sensor nafas di Jabodetabek, jumlah PM2.5 meningkat 14% sejak diadakan PPKM Darurat.

Jalan yang kosong dan minimnya transportasi selama WFH tidak meningkatkan kualitas udara di Jakarta.


Era Work From Office (WFO)

Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, karyawan di Jakarta kini telah diizinkan bekerja dari kantor (WFO) dengan kapasitas 100%. Ini berarti aktivitas manusia telah kembali normal dengan meningkatnya lalu lintas dan jumlah kendaraan di kota.

Berikut data konsentrasi PM2.5 yang diukur oleh sensor nafas sejak kebijakan 100% WFO diterapkan pada 7 Juni 2022.



Berdasarkan data PM2.5 yang diukur oleh sensor nafas di Jabodetabek, jumlah PM2.5 juga meningkat 20% sejak WFO diberlakukan kembali.

Baik WFH maupun WFO rupanya
tidak ada penurunan tingkat polusi udara di Jakarta.

Pada dua kondisi ini, peningkatan polusi udara tetap saja terjadi.


Emisi dari kendaraan bukan satu-satunya sumber polusi udara di Jakarta

Menurut laporan Air Quality Life Index (AQLI) 2021, transportasi di Jakarta menyumbang sekitar 31,5% dari polusi PM2.5 kota. Sebagian besar kualitas udara di Jakarta dipengaruhi oleh polusi pembangkit listrik tenaga batu bara, asap pabrik, dan asap pembakaran sampah. Sumber-sumber ini tidak semuanya berasal dari Jakarta. Kontributor utama polusi PM2.5 di kota ini adalah kelompok pabrik dan pembangkit listrik tenaga batu bara di provinsi tetangga, yaitu Banten, sebelah barat ibu kota, dan Jawa Barat, di sebelah timur. Tak hanya itu, faktor meteorologi seperti arah dan kecepatan angin sangat berkontribusi terhadap kualitas udara Jakarta. Menurut BMKG, polutan-polutan ini terbawa angin ke Jakarta.


Pentingnya memantau kualitas udara

Ternyata kebijakan WFH dan WFO tidak selalu menentukan peningkatan kualitas udara di suatu lokasi. Kendaraan bukan satu-satunya sumber polusi PM2.5. Faktor industri dan meteorologi juga memiliki pengaruh besar terhadap kualitas udara. Meskipun emisi kendaraan dan aktivitas manusia berkontribusi terhadap polusi udara, tampaknya sumber-sumber lain memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada dua sumber yang paling umum. 

Itulah sebabnya nafas selalu merekomendasikanmu untuk memeriksa kualitas udara di luar ruangan terlebih dahulu sebelum melakukan aktivitas di luar ruangan. Penggunaan masker wajah yang tepat harus selalu dipertimbangkan untuk mengurangi paparan polusi udara yang berbahaya.

Ingin memulai sekarang? Klik
di sini untuk memulai perjalananmu bersama nafas.


Referensi:

Air pollution and physical exercise: When to do more or less. ScienceDaily. https://www.sciencedaily.com/releases/2021/03/210329200307.htm

Beelen, R., Hoek, G., van den Brandt, P. A., Goldbohm, R. A., Fischer, P., Schouten, L. J., Jerrett, M., Hughes, E., Armstrong, B., & Brunekreef, B. (2008). Long-term effects of traffic-related air pollution on mortality in a Dutch cohort (NLCS-AIR study). Environmental health perspectives, 116(2), 196–202. https://doi.org/10.1289/ehp.10767.

Pope, C. A., 3rd, Burnett, R. T., Thun, M. J., Calle, E. E., Krewski, D., Ito, K., & Thurston, G. D. (2002). Lung cancer, cardiopulmonary mortality, and long-term exposure to fine particulate air pollution. JAMA, 287(9), 1132–1141. https://doi.org/10.1001/jama.287.9.1132.