Nafas di Bestari Festival 2024: Kita Dikepung Polusi Udara di Dalam & Luar Ruangan
Pada Sabtu (27/01) CEO dan co-founder Nafas, Nathan Roestandy, berkesempatan untuk menjadi salah satu keynote speaker di acara Bestari Festival yang diadakan oleh Idea Fest dan Pandemic Talks. Beberapa inisiasi lain seperti Nasi Peda Pelangi dan Bicara Udara juga ikut mewarnai acara bertema lingkungan kali ini.
Nathan mengawali keynote speech-nya dengan bercerita tentang banyaknya informasi yang beredar hari-hari ini tentang krisis iklim yang terjadi di sekitar kita. Hal ini membuat adanya information overload yang direspon dengan cukup beragam oleh masyarakat. Nathan berpesan satu hal, ”Jangan sampai information overload yang mengkhawatirkan ini membuat kita semakin apatis, acuh tak acuh. Coba pikirkan apa hal kecil yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki hal tersebut di komunitas kita.”
Setelah itu, Nathan mulai menjelaskan tentang aplikasi Nafas yang sudah digagasnya sejak 2021. Secara singkat Nathan memosisikan Nafas seperti Google Maps untuk polusi udara yang bisa membantu warga lebih waspada saat beraktivitas di luar ruangan.
Motivasi berdirinya Nafas sendiri adalah, Nathan melihat bahwa di kota dan negara lain informasi tentang kualitas udara sudah tersebar luas. Deteksi kualitas udara menjadi sesuatu yang krusial, karena udara adalah basic needs setiap manusia di dunia.
Nafas telah mengumpulkan banyak data dalam jumlah besar dan berkolaborasi dengan berbagai stakeholder. Salah satu kerjasama yang pernah dilakukan oleh Nafas adalah riset dampak polusi udara terhadap kesehatan yang dilakukan bersama Halodoc. Nafas berkontribusi untuk memberikan data kualitas udara dan Halodoc ikut andil memaparkan data tentang sesi telekonsultasi yang berkaitan dengan penyakit respirasi. Ditemukan bahwa dampak kesehatan jangka panjang yang dipicu oleh polusi cukup banyak, terutama di Jabodetabek.
Lebih detailnya, diketahui bahwa setiap kenaikan PM2.5 sebanyak 10 µg/m³ dari baseline 31 µg/m³, keluhan pernapasan naik hingga 34%. Terutama pada bad air season sekitar Juni, Juli, dan Agustus yang polusi udaranya melampaui jauh dari standar WHO yaitu 5 µg/m³.
Riset ini juga mengungkap bahwa dalam waktu 12 jam, risiko penyakit pernapasan akut (di bawah 48 jam) dapat meningkat hingga 52% jika terjadi polusi PM2.5 di atas 55 µg/m³. Penyakit yang meningkat paling tinggi adalah bronkitis & asma (5x lebih banyak kasus), rhinitis (4x), dan influenza & sinusitis (3x). Kelompok yang paling terdampak adalah anak-anak di bawah 6 tahun (32%), 6-17 tahun (32%) dan lansia di atas 55 tahun (48%).
Salah satu faktor penyebab meningkatnya penyebaran penyakit ini karena adanya Sick Building Syndrome. Hal ini merupakan sebutan untuk gejala ketidaknyamanan yang timbul akibat terlalu lama menghabiskan waktu di dalam bangunan yang tidak sehat. Istilah ini mulai populer sejak masa COVID-19 yang populer sebagai airborne disease. Kualitas udara dalam ruangan, jika tidak terjaga maka berdampak pada kesehatan fisik dan mental.
Kontaminasi dari udara luar dapat masuk ke dalam gedung yang bangunannya tidak dirancang untuk menghadapi polusi udara tinggi. Hampir 100% polusi masuk ke dalam ruangan.
Di akhir speech, Nathan menekankan pentingnya kualitas udara yang sehat di dalam ruangan. Urgensi peningkatan kualitas udara di dalam ruangan merupakan hal yang krusial dan menjadi standar. Demi terciptanya lingkungan kerja, belajar, dan beraktivitas dengan aman dan nyaman.