LEARN / BLOG

Nafas Terhenti di Tengah Polusi: Dampak PM2.5 terhadap Pneumonia pada Balita di Jakarta


WRITTEN BY

Nafas Indonesia

PUBLISHED

13/08/2025

LANGUAGE

EN / ID

English / Indonesia


Kolaborasi untuk Solusi Kesehatan Berbasis Data

Nafas Indonesia, DBS Foundation, dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) bergabung untuk mengatasi salah satu masalah kesehatan lingkungan paling mendesak di Jakarta: dampak partikel halus (PM2.5) terhadap pneumonia pada balita.

Kemitraan ini bertujuan untuk:

  • Membangun kebijakan berbasis bukti untuk mengurangi dampak polusi udara terhadap kelompok rentan.

  • Meningkatkan kesadaran publik bahwa udara sehat adalah hak dasar setiap orang.

  • Memperkuat kolaborasi lintas sektor antara teknologi, akademisi, dan sektor sosial.

Kondisi Polusi Udara di Jakarta

Grafik 1: Rincian Polusi Udara

  • Pada 2023, Jakarta menempati peringkat ke-7 sebagai kota paling berpolusi di dunia.

  • 67 kematian dini per 100.000 penduduk di Jakarta terkait dengan polusi udara.

  • Rata-rata tahunan PM2.5 di Jakarta mencapai 35 µg/m³ pada 2024 — tujuh kali lipat lebih tinggi dari batas aman WHO (5 µg/m³).

  • Paparan polutan seperti PM2.5, O₃, NO₂, SO₂, dan CO secara signifikan meningkatkan risiko penyakit pernapasan kronis dan penyakit kardiovaskular.

PM2.5 dan Bahayanya

Grafik 2: Ilustrasi ukuran PM2.5

PM2.5 adalah partikel ultra-halus dengan ukuran lebih kecil dari 2,5 mikrometer — sekitar 36 kali lebih kecil dari butiran pasir. Partikel ini dapat melewati pertahanan alami tubuh, menembus jauh ke dalam paru-paru, dan masuk ke aliran darah.

Dampak kesehatannya meliputi:

  • Peradangan kronis dan stres oksidatif.

  • Penurunan fungsi imun pada sistem pernapasan.

  • Peningkatan risiko pneumonia, asma, PPOK, stroke, dan penyakit jantung.

Mengapa Balita Lebih Rentan

Grafik 3: Visual dampak polusi udara terhadap kesehatan anak

Balita bernapas 24–40 kali per menit (dibandingkan 12–20 kali per menit pada orang dewasa), yang berarti mereka menghirup udara lebih sering dan lebih dalam. Ditambah dengan sistem imun yang belum berkembang sempurna serta saluran napas yang lebih kecil, hal ini membuat mereka sangat rentan.

Gejala pneumonia pada balita meliputi:

  • Batuk terus-menerus dan napas cepat.

  • Demam tinggi (>39°C).

  • Kehilangan nafsu makan, nyeri dada, atau muntah.

  • Mengi atau napas berbunyi.

Temuan Utama Penelitian

1. Kenaikan PM2.5 Melipatgandakan Kasus Pneumonia

  • Di Menteng, setiap kenaikan 10 µg/m³ PM2.5 menggandakan prevalensi pneumonia pada balita.

  • Pada 26 µg/m³ PM2.5, prevalensinya 19 per 10.000 balita. Pada 56 µg/m³, melonjak menjadi 92 per 10.000.

2. 1 dari 20 Balita di Jakarta Menderita Pneumonia pada 2023

  • Prevalensi tertinggi: Tambora (1.406 kasus per 10.000).

  • Prevalensi terendah: Cakung (312 kasus per 10.000).

3. Musim Kemarau Membawa Risiko Lebih Tinggi

  • Kasus memuncak pada Mei hingga Oktober, sejalan dengan tingginya kadar PM2.5.

  • Rata-rata kasus pneumonia bulanan: 1.140.

4. Kualitas Udara Memburuk Pasca Pandemi

  • PM2.5 meningkat setelah pembatasan COVID-19 dicabut pada 2023, dipicu oleh bertambahnya emisi kendaraan dan aktivitas industri.

Cara Melindungi Balita dari Pneumonia

Saat kualitas udara memburuk:

  • Gunakan masker filtrasi tinggi (KF94/N95) saat di luar ruangan.

  • Pastikan imunisasi lengkap (vaksin HiB & PCV).

  • Berikan nutrisi seimbang untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

  • Biasakan cuci tangan dengan sabun selama 60 detik.

  • Hindari kontak dekat dengan orang yang sakit dan jaga ventilasi rumah tetap baik.

Pastikan anak berada di lingkungan sehat dan udara di sekitarnya tetap bersih.

Pneumonia bukan sekadar penyakit — ini adalah gejala dari krisis lingkungan yang lebih besar.

Melindungi balita dari udara yang tercemar memerlukan tindakan dari individu, komunitas, dan pembuat kebijakan.

Mari bekerja sama untuk memastikan setiap napas anak-anak kita aman. Karena setiap napas mengandung harapan.

Pneumonia mencerminkan bukan hanya kondisi kesehatan seorang anak, tetapi juga kualitas lingkungan tempat mereka tinggal.

Dengan bertindak bersama — individu, komunitas, dan pembuat kebijakan — kita dapat memastikan setiap napas anak-anak kita aman.

Jika Anda ingin membaca versi lengkap laporan ini, klik di sini