LEARN / BLOG

Masuk Angin: Mungkinkah itu benar-benar disebabkan oleh polusi udara?


WRITTEN BY

Anggid Primastiti

PUBLISHED

07/10/2022

LANGUAGE

EN / ID

English / Indonesia


Paparan partikel halus (PM2.5) dapat menyebabkan gejala yang mirip dengan masuk angin, serta memperburuk penyakit pernapasan dan flu.

🧐 Pada artikel ini, Anda akan belajar tentang:

  • Jakarta dan sekitarnya sering disebut-sebut sebagai salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, dengan tingkat PM2.5 mencapai 75,45 µg/m³ pada 15 Juni 2022.
  • Paparan polusi PM2.5 telah dikaitkan dengan konsekuensi kesehatan yang mirip gejala masuk angin, seperti batuk, pusing, pilek, dan kesulitan bernapas.
  • Masuk ke dalam ruangan, menutup jendela, membatasi aktivitas di dalam dan di luar ruangan yang menghasilkan partikel halus, dan menggunakan pembersih udara dapat mengurangi paparan dan melindungi diri Anda dari polusi udara.

Beberapa dari Anda mungkin pernah mengalami gejala seperti masuk angin, seperti batuk yang tidak terkendali, hidung meler, dan kesulitan bernapas. Bahkan, hal ini bisa terjadi secara tiba-tiba dan tanpa peringatan. Jadi, bagaimana jika itu karena polusi udara? Apakah ada kaitannya?


PM2.5, sumber penyakit yang tidak terlihat

Karena polutan meningkatkan risiko berbagai macam penyakit, polusi udara telah didokumentasikan dengan baik sebagai masalah kesehatan masyarakat yang signifikan untuk banyak wilayah di seluruh dunia. Materi partikulat 2.5, komponen polusi udara yang signifikan, adalah campuran partikel padat dan cair di udara dengan diameter kurang dari 2,5 mikrometer. Ini 30x lebih kecil dari sehelai rambut. Studi tentang toksikologi dan epidemiologi menjelaskan bahwa PM2.5 merusak karena partikel yang lebih kecil lebih mungkin memasuki paru-paru dan aliran darah lebih dalam dan tanpa filter. Menurut temuan, paparan polusi PM2.5 telah dikaitkan dengan konsekuensi kesehatan yang serius. Banyak masalah kesehatan tidak hanya akut tetapi juga kronis.


Bagaimana data Jabodetabek dapat dihubungkan dengan hasil kesehatan akibat polusi udara

Dalam beberapa tahun terakhir, Jakarta dan sekitarnya sering disebut sebagai salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Menurut data nafas, kadar PM2.5 di Jakarta mencapai 75,45 µg/m³ pada 15 Juni 2022. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa batas konsentrasi partikulat PM2.5 di udara adalah 5 µg/m3. Artinya, konsentrasi PM2.5 di Jakarta 15 kali lebih banyak dari batas yang ditetapkan WHO.

Buruknya kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya mempengaruhi kesehatan masyarakat. Menurut survei terhadap 1.570 responden (usia 23-38 tahun) dari Katadata, banyak warga Jakarta yang mengalami masalah kesehatan akut seperti batuk dan bersin (44,6%), sakit kepala (44,3%), dan iritasi pada mata, hidung, tenggorokan, dan kulit (42%) pada tahun 2021. Beberapa warga mengalami kelelahan, sesak napas, hidung menetes, hipersensitivitas, dan alergi.

Gejala awal polusi udara yang parah akan mirip dengan masuk angin. Sayangnya, orang sering mengabaikannya. Berbagai penyakit jangka panjang akan menghantui kita hari demi hari jika dibiarkan. Bila Anda tinggal di daerah dengan polusi udara yang parah, kesehatan Anda terancam.

Berikut ini adalah gejala awal atau efek jangka pendek dari polusi udara.

😮‍💨 Tenggorokan kering dan gatal

Asap, yang mengandung partikel berbahaya, dapat menyebabkan tenggorokan kering dan gatal. Batuk dan bersin sering kali merupakan tanda pertama dari tenggorokan kering dan gatal. Ada beberapa bukti yang menghubungkan paparan PM2.5 dengan batuk kronis, yang merupakan mekanisme fisiologis untuk membersihkan partikel yang terhirup.

🤒 Sakit kepala

Ada banyak bukti bahwa polusi udara dapat menyebabkan migrain. Berbagai polutan udara, termasuk NO2 dan PM2.5, telah dikaitkan dengan migrain. Mengingat hubungan yang terdokumentasi dengan baik antara perubahan aliran darah dan timbulnya migrain, diperkirakan bahwa PM2.5 dapat mengaktifkan sistem saraf simpatik, yang merupakan pengatur utama sistem vaskular.

😷 Kesulitan bernapas

Paparan polusi udara diperkirakan menyebabkan asma yang semakin parah, penurunan fungsi paru-paru dan kesulitan bernapas. Sejumlah penelitian telah mengaitkan PM2.5 dengan berbagai masalah kesehatan, mulai dari peningkatan serangan asma hingga kunjungan ke rumah sakit hingga kematian. PM2.5 telah dikaitkan dengan peningkatan penggunaan obat asma pada anak-anak, penurunan fungsi pernapasan, peningkatan kunjungan ruang gawat darurat, dan rawat inap untuk masalah paru-paru dan jantung.

🤧 Flu dan pilek

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa terpapar polusi udara tingkat tinggi meningkatkan peluang Anda untuk sakit influenza. PM2.5 ambien adalah modus penularan langsung untuk infeksi virus influenza, yang menyebabkan penyakit ini menyebar.

📚 Sebuah studi di Jepang dengan konsentrasi PM2.5 rata-rata 25,2 μg/m3 menunjukkan adanya hubungan dengan peningkatan pilek, hidung tersumbat, batuk, bersin, dan sakit mata. Studi ini menunjukkan bahwa polusi PM2.5 berasal dari aktivitas manusia (seperti pembakaran batu bara, pembakaran minyak, dan emisi lalu lintas) dan dari alam (seperti garam laut dan tanah).

📚 Tidak hanya itu, sebuah penelitian di Taiwan juga melihat hubungan konsentrasi PM2.5 dalam kategori >11 μg/m3, 11-15 μg/m3, dan >15 μg/m3 dengan sakit kepala. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan insiden sakit kepala berulang pada konsentrasi PM2.5 yang lebih tinggi.

Melihat data konsentrasi dalam penelitian-penelitian tersebut, hal ini cukup memprihatinkan jika dibandingkan dengan kualitas udara Indonesia yang selama ini kita hirup.

Kita bisa lihat bahwa rata-rata kualitas udara di Indonesia jauh di atas batas yang dianjurkan oleh WHO dan dari konsentrasi pada studi yang telah kita bahas di atas dengan kualitas udara hingga 9,2 kali batas WHO untuk Kota Bandung. Oleh karena itu, tak heran jika Anda tiba-tiba merasakan gejala masuk angin, cukup lihatlah sekelilingmu dan mulailah sadar: mungkin polusi udara adalah penyebabnya.


Apa cara paling efektif untuk mengurangi paparan polusi udara?

Ada beberapa langkah yang dapat Anda ambil untuk melindungi diri Anda dari polusi udara.

  • Ketika tingkat PM2.5 tinggi di luar, masuk ke dalam ruangan dapat mengurangi paparan Anda, meskipun beberapa partikel luar ruangan akan masuk ke rumah Anda.
  • Membatasi aktivitas di dalam dan di luar ruangan yang menghasilkan partikel halus (misalnya, membakar lilin di dalam ruangan atau pembakaran terbuka di luar ruangan) dan menghindari aktivitas berat di area dengan tingkat partikel halus yang tinggi adalah beberapa cara untuk mengurangi paparan.
  • Menggunakan pembersih udara, menutup jendela untuk menghindari udara kotor, dan berolahraga di dalam ruangan adalah cara yang direkomendasikan untuk melindungi diri Anda dari polusi udara.

Memantau kualitas udara secara rutin sebelum beraktivitas di luar ruangan juga sangat dianjurkan. Unduh aplikasi nafas untuk memantau kualitas udara di sekitarmu agar Anda tahu langkah pencegahan polusi udara yang tepat sebelum beraktivitas.


Referensi:

Hong, S. Y., Wan, L., Lin, H. J., Lin, C. L., & Wei, C. C. (2020). Long-Term Ambient Air Pollutant Exposure and Risk of Recurrent Headache in Children: A 12-Year Cohort Study. International journal of environmental research and public health, 17(23), 9140. https://doi.org/10.3390/ijerph17239140.

Hsiao, T.-C., Cheng, P.-C., Chi, K. H., Wang, H.-Y., Pan, S.-Y., Kao, C., Lee, Y.-L., Kuo, H.-P., Chung, K. F., & Chuang, H.-C. (2022). Interactions of chemical components in ambient PM2.5 with influenza viruses. Journal of Hazardous Materials, 423, 127243. https://doi.org/10.1016/j.jhazmat.2021.127243.

Sugiyama, T., Ueda, K., Seposo, X. T., Nakashima, A., Kinoshita, M., Matsumoto, H., Ikemori, F., Honda, A., Takano, H., Michikawa, T., & Nitta, H. (2020). Health effects of PM2.5 sources on children’s allergic and respiratory symptoms in Fukuoka, Japan. Science of the Total Environment, 709, 136023. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2019.136023.

Takizawa H. (2011). Impact of air pollution on allergic diseases. The Korean journal of internal medicine, 26(3), 262–273. https://doi.org/10.3904/kjim.2011.26.3.262.